Mengejar Bahagia
- Little Stardust
- Jul 29, 2023
- 2 min read
Updated: Jan 23, 2024
Barusan, mendengar seseorang dalam sebuah seminar berbicara tentang bagaimana seseorang yang berpikir menikah bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan malah akan semakin babak belur. Lalu, tidak bolehkan mengharap bahagia dalam sebuah pernikahan? Hmm... entahlah, untuk seseorang yang belum memiliki bayangan utuh tentang sebuah pernikahan, rasanya pembahasan ini cukup berat untuk dituliskan, namun cukup menarik rasanya jika dikaitkan dalam judul tulisan ini, tentang Mengejar Bahagia.
Tentu saja kita tahu, bagaimana menikah adalah salah satu ibadah terpanjang dalam hidup, bagaimana pernikahan adalah sebuah niat untuk ibadah, juga perihal membesarkan anak di dalamnya yang menjadi bagian dari ibadah. Sering kali, benar-benar banyak sekali hal yang mesti kita luruskan niatnya dalam berencana dan berniat untuk menjalani sesuatu dalam hidup. Mengambil kesempatan, meyakini, dan akhirnya menerima atas banyak hal yang datang dalam hidup. Termasuk ketika banyak orang yang bilang bertahan dalam pernikahan karena anak misalnya, ketika kemudian suatu saat terjadi hal yang tidak sebagaimana mestinya, maka sering kali ujiannya semakin Subhanallah, berbeda ketika kita niatkan untuk bertahan karena Allah, maka Allah akan bukakan jalannya. Sering kali kita bertahan karena seseorang, bukan Lillah, bukan karena Allah. Lalu, bagaimana esensi tentang niat ibadah yang seharusnya menjadi tujuan tertinggi?
Dan perihal seseorang yang mengejar bahagia, akan semakin sulit untuk merasakan bahagia itu sendiri. Karena bahagia tidak perlu dikejar, katanya. Bahagia adalah feedback, efek di saat hati kita benar menujunya kepada Allah, di saat hati kita benar mengingat-Nya. Berdzikir, berdzikir adalah mengingat, mengingat itu berarti sadar bahwa segala sesuatu di bumi ini dalam kendali Allah. Berdzikir, mengingat bahwa ketika apapun yang terjadi adalah atas izin Allah. Berdzikir itu mengingat, ingat bukan hanya sekedar dalam pikiran, tapi juga dalam tindakan, lisan, dalam sikap kita bahwa segala sesuatu, semuanya adalah tentang Allah dan datangnya dari Allah SWT.
Kalau Allah memberikan sebuah ujian, berarti ini bukan tentang orang lain, semuanya adalah tentang diri kita. Bukan tentang kamu yang berpikir bagaimana seseorang seharusnya memperlakukanmu dengan baik, namun tentang bagaimana kita merespon, dan mempelajari bahwa segala sesuatu adalah atas izin Allah Yang Maha Mengetahui atas setiap hal yang terjadi. Bukankah sesuatu tidak akan pernah terjadi kalau bukan melalui izin-Nya? Tentang bagaimana kita membawa diri menjadi sebaik-baiknya manusia lebih dari diri kita sendiri dalam setiap ujian dari arah manapun datangnya. Tentang rasa sabar, ikhlas, dan ridho yang perlu untuk dikejar atas rasa yakin kepada Allah SWT. Tentang bagaimana belajar memaafkan diri sendiri karena masih belum sempurna menjadi tawadhu dan menjadi orang yang percaya akan kebaikan-kebaikan setelah ujian, bahkan bentuk ujian yang dianggap tidak terasa menyenangkan itu sendiri juga adalah nikmat yang perlu kamu syukuri karena itu datangnya dari Allah SWT.
Lalu, mengapa bersedih hati? Bukankah lemahnya hati juga akan senantiasa Allah jaga dan lindungi? Lantas... mengapa terus saja menangis, bukankah hati juga meyakini kalau Allah sebaik-baiknya pengabul doa? Bukankah kamu begitu yakin bahwa Allah Yang Maha Baik yang tidak pernah mengecewakan sepanjang hidupmu? Mengapa begitu takut, padahal Allah sebaik-baiknya penjamin yang tidak akan pernah berhenti? Padahal sangat tahu Allah adalah Pemberi Rezeki. Maka, mintakan saja, untuk hatimu, tentang rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka pintakan saja, dalam hatimu, agar mencintai dan dicintai oleh-Nya yang Maha Berkuasa. Bukankah kamu ingin menjadi sebaik-baiknya wanita sholehah? Memimpikan menjadi manusia baik yang setiap langkahnya mendapat ridho dari-Nya? Lantas bukankah hatimu juga harus ridho dengan semua ketetapan-Nya? InsyaAllah, kun, Allah akan selalu menyayangimu.
-drh

Comments